Tampilkan postingan dengan label Hadits. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hadits. Tampilkan semua postingan

Kontroversi Shalat Tasbih

Bukan hanya para ulama fiqih saja yang "rajin" berbeda pendapat, namun para pakar hadis, dari yang paling rendah sampai ke level yang tertinggi, juga berhak untuk berbeda pendapat. Bahkan jurang pemisah perbedaan pendapat di antara mereka seringkali menjadi pemicu perdebatan di kalangan bawah umat islam. Bayangkan, ada suatu hadis yang divonis palsu oleh seorang pakar hadis, namun oleh pakar hadis yang lain dinilai shahih. Itulah dunia kritik hadis, selalu ada yang mengatakan shahih dan ada juga yang mengatakan tidak shahih, bahkan palsu. Semua itu adalah hal yang pasti terjadi, dan salah satu contohnya adalah tentang kedudukan hadis shalat tasbih yang menjadi perselisihan di kalangan umat islam.

Matan Hadits Shalat Tasbih
Sebelumnya kita bicara tentang kedudukan hadits shalat tasbih, marilahkita mulai dari matan (isi) hadits yang dimaksud:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهْ أَلاَ أُعْطِيْكَ أَلاَ أُمْنِحُكَ أَلاَ أُحِبُّوْكَ أَلاَ أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيْمَهُ وَحَدِيْثَهُ خَطْأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيْرَهُ وَكَبِيْرَهُ سِرَّهُ وَعَلاَنِيَّتَهُ عَشَرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكْعَاتٍ تَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وِسُوْرَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقُرْاءَةِ فِيْ أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشَرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُوْلُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشَرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوْعِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تّهْوِيْ سَاجِدًا فَتَقُوْلُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَالسُّجُوْدِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُوْنَ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِيْ أَرْبَعِ رَكْعَاتٍ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِيْ كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لََمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُ فَفِيْ كُلِّ سَنَةِ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ عُمْرِكَ مَرَّةً

Artinya: Dari Al-Abbas bin Abdilmuttalib rabahwa Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Hai pamanku, Al-Abbas, maukah Paman saya beri sesuatu? Maukahsaya beri suatu anugerahi? Maukah saya beri suatu hadiah? Maukah saya berbuat sesuatu? Ada 10 hal yang bila Paman lakukan maka Allah mengampuni dosa-dosa, baik yang dulu maupun yang sekarang, yang lama maupun yang baru, yang disengaja maupun yang tidak disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang sembunyi maupun yang terang-terangan? Sepuluh hal itu adalah shalat empat rakaat, setiap rakaat membaca Al-Fatihah dan sebuah surah, bila telah selesai pada rakaat pertama dan masih berdiri, bacalah tasbih “Subhanallah walhambulillah wala ilaaha illallah wallahu akbar”, sebanyak 15 kali. Kemudian ruku’lah dan bacalah tasbih tadi 10 kali, kemudian i’tidal dan bacalah tasbih tadi 10 kali, kemudian sujud dan bacalah tasbih tadi 10 kali, kemudian angkat kepala dari sujud dan bacalah tasbih tadi 10 kali, kemudian sujud lagi dan bacalah tasbih tadi 10 kali, kemudian angkat kepada dan bacalah tasbih tadi 10 kali. Maka bacaan tasbih itu ada 75 untuk tiap rakaat. Paman kerjakan 4 rakaat. Apabila paman mampu maka kerjakan shalat itu sekail dalam sehari, bila tidak mampu kerjakanlah setiap Jumat, bila tidak mampu maka kerjakan tiap bulan, bila tidak mampu maka kerjakan setahun sekali dan bila tidak mampu juga maka kerjakan sekali dalam umur hidup.” (HR Abu Daud dan Tirmizy)

Al-Hukmu ‘Alal Hadits
Sekarang kita bicara tentang kedudukan hadis atau sering diistilahkan dengan al-hukmu ‘alal hadits. Dalam hal ini kita punya dua kubu yang berbeda pendapat.

a. Pendapat Yang Mengatakan Palsu
Di antara para ulama yang mengatakan bahwa hadis tentang shalat tasbih adalah hadis palsu antara lain Al-Imam Ibnu Al-Jauzi, seorang ahli hadis yang hidup di abad ke-6 hijriyah (wafat tahun 597 H). Beliau punya sebuah kitab khusus yang berisi hadis palsu semuanya. Dari namanya saja, kita sudah tahu bahwa isinya memang hadis palsu. Judul kitabnya adalah Al-Maudhu’at. Dan hadis tentang shalat tasbih ternyata ada di dalam salah satu isinya.

Paling tidak ada 3 jalur periwayatan hadis ini yang dituduhkan bermasalah, menurut Ibnul Jauzi.

1. Masalah di Jalur Pertama
Karena ada perawi yang mungkarul hadis bernama Shadaqah bin Yazid Al-Khurasani. Atau mu’dhal karena sanadnya terputus dua orang, seperti yang dikatakan oleh Ibnu HIbban.

2. Masalah di Jalur Kedua
Karena ada perawi yang majhul atau tidak diketahui identitasnya, yaitu Musa bin Abdil Aziz.

3. Masalah di Jalur Ketiga
Karena ada perawi yang dinilai tidak halal untuk meriwayatkan hadis yang bernama Musa bin Ubaidah. Yang menilai begitu di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal.
Selain itu ada Al-Imam Asy-Syaukani (wafat tahun 1250 hijriyah), beliau termasuk yang mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis palsu. Kita bisa baca keterangan beliau dalam kedua kitabnya, Al-Fawaid Al-Majmu’ah Fil Ahaditisl Maudhu’ah, dan kitab Tuhfatudz-dzakirin.

b. Pendapat Yang Mengatakan Shahih
Namun tuduhan di atas dijawab oleh para pakar hadis yang lain. Apa yang dikatakan sebagai hadis palsu oleh Ibnul Jauzi ternyata hanya riwayat yang melalui satu pangkal jalur yaitu Ad-Daruquthuny. Padahal selain jalur itu, masih banyak jalur lainnya yang tidak ikut dibahas oleh beliau. Maka para pakar hadis selain beliau ramai-ramai mengkritisi balik apa yang telah disimpulkan oleh Ibnul Jauzi secara terburu-buru itu. Bahkan beliau juga dituduh orang yang terlalu mudah menjatuhkan vonis kepalsuan atas suatu hadis (tasahhul).

1. Tuduhan bahwa Shadaqah bin Yazid Al-Khurasani sebagai munkarul-hadits memang benar, namun ternyata salah alamat. Sebab yang meriwayatkan hadis ini ternyata orang lain yang namanya nyaris mirip, yaitu Shadaqah bin Abdullah Ad-Dimasyqi. Meski ada yang menilainya lemah (dhaif) namun dia bukan munkarul-hadits, sehingga tidak bisa dinilai sebagai hadis palsu. Sebab beberapa pengkritik hadis mengatakan bahwa dia shahih. Kalau Ma’qil bin Yazid Al-Kuhrasani memang munkarul-hadits, tetapi dia bukanlah orang yang meriwayatkan hadis ini.

2. Tuduhan bahwa Musa bin Abdul Aziz adalah orang yang majhul, menurut Az-Zarkasyi tidak otomatis menjadikan hadis itu palsu. Boleh jadi Ibnul Jauzi memang tidak mengetahui identitas orang itu. Padahal banyak ulama lain seperti Bisyr bin Hakam, Abdurrahman bin Bisyr, Ishaq bin Abu Israil, Zaid bin Al-Mubarak, yang mengenalnya sebagai orang tidak ada masalah masalah (laa ba’sa bihi).
Imam Ibnu Hibban juga mengatakan bahwa Musa bin Abdul Aziz sebagai orang yang tsiqah (kredibel). Bahkan Al-Imam Al-Buhkari meriwayatkan hadis dari beliau juga dalam kitab Adabul Mufrad. Jadi bukan lah Musa bin Abdil Aziz itu majhul, tetapi Ibnul Jauzi saja yang memang tidak punya keterangan tentang perawi itu. Ketidak-tahuan dia atas orang itu tidak bisa dijadikan vonis bahwa hadis itu palsu.

3. Tuduhan bahwa Musa bin Ubaidah adalah orang yang tidak halal meriwayatkan hadis adalah sebatas tuduhan. Sebab Ibnul araq Al-Kannani menegaskan bahwa Musa bin Ubaidllah bukan pendusta, melainkan dia baru sekedar dituduh sebagai pendusta (muttaham bil kadzib).
Ibnu Saad justru menilai bahwa dia adalah perawi yang tsiqah (kredibel), bukan dhaif.

Selain kedua imam di atas, ternyata hadis tentang shalat tasbih ini malah dikatakan sebagai hadis shahih, bukan hadis palsu. Yang menarik, justru yang mengatakan shahih bukan sembarang orang, sehingga sanggahan mereka atas tuduhan kepalsuan hadis sangat berarti. Di antara mereka yang mengatakan bahwa hadis itu shaih adalah:

Al-Imam Bukhari rahimahulah.Siapa yang tidak kenal beliau? Beliau adalah penulis kitab tershahih kedua setelah Al-Quran Al-Kariem. Namun hadis ini memang tidak terdapat di dalam kitab shahihnya itu, melainkan beliau tulis dalam kitab yang lain. Kitab itu adalah Qiraatul Ma’mum Khalfal Imam. Di sana beliau menyatakan bahwa hadis tentang shalat tasbih di atas adalah hadis yang shahih.

Al-’Allamah Syeikh Nasiruddin Al-Albani
Beliau adalah pakar hadis dari negeri Suriah yang amat tersohor di seantero jagad. Beliau pun juga termasuk yang mengatakan bahwa hadis tentang shalat tasbih ini shahih.
Kita akan mendapatkan hadis ini dalam kitab karangan beliau, Shahih Sunan Abu Daud. Sebuah kitab hasil kritisi dan analisa beliau terhadap kitab susunan Abu Daud khususnya yang bersatatus shahih saja.

c. Kalangan Yang Berpendapat Ganda Atau Tawaqquf
Misalnya Al-Imam An-Nawawi punya dua penilaian yang berbeda atas hadis yang sama. Demikian juga dengan AL-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqallani, ahli hadis yang telah membuat syarah dari kitab Shahih A-Bukhari.
Sedangkan yang tawaqquf atau tidak memberikan komentar (abstein) antara lain Al-Imam Az-Dzahabi, sebagaimana yang kita baca dari kitab Tuhfatul Ahwadzi fi syarh jami’ At-Tirmizy jilid 2 halaman 488.

Kesimpulan
Dalam dunia ilmu hadis, perbedaan pendapat dalam menilai kedudukan suatu riwayat memang sangat besar kemungkinannya. Ada yang telah divonis shahih atau dhaif oleh seorang ulama, belum tentu disepakati oleh ulama lainnya. Sebaiknya kita lebih banyak mengkaji dan membaca literatur, khususnya dalam masalah hadis ini, karena dunia ilmu hadis sangat luas dan beragam. Tidak lupa pula kita harus lebih banyak bertanya kepada para ulama yang ahli agar kita tidak terlalu mudah mengeluarkan statemen yang nantinya akan kita sesali sendiri.

Wallahu a’lam bishshawab